, , , , , , , ,

Aksi Tenang ( Bagian Kedua)

August 16, 2017 Samuel Yudhistira
Kami membayar supaya menjadi miskin. Kita harus menjadi kaya supaya bisa menyatu dengan alam. Kami senang berjalan gagah dengan tas besar dan perlengkapan outdoor di tengah kota supaya semua orang tahu kalau kami adalah sekumpulan petualang.


"Alam tak butuh uangmu!" ujar Pohon Pinus penghuni gunung yang kini penuh coretan minim arti.

Sanggupkah kalian membuat kami sadar wahai para penghuni gunung, laut, dan hutan?

Padang rumput sunyi tempat para petapa dahulu mencari ilham dan menyatukan raganya dengan alam kini menjadi panggung pameran bungkus plastik dari berbagai produk ciptaan kota. 

Kita harus fotogenik supaya terlihat jelas kalau kita adalah manusia-manusia yang mencintai alam dengan cara yang salah.

Lihat! Mereka menerbangkan harapan, impian, dan sukacita dalam bentuk lampion kertas. Terbangkan setinggi mungkin lalu ambil citranya, unggah ke dunia maya, buat kesan seakan kita mencintai alam beserta isinya. Peduli setan ke mana kertas dan kawat itu nanti mendarat! Lampion kita akan terbang ke bulan dan menjadi sampah luar angkasa lalu kembali turun ke bumi menjelma menjadi petromak.

***
Langit berubah warna menjadi ungu.

"Tunggu dulu! Kembalikan uang kami! Di brosur kami baca kalau langit di sini penuh dengan bintang-bintang dan suasananya yang sunyi dapat membawa kami menjadi satu dengan alam."

"Sekali lagi saya mohon maaf atas ketidaknyamanan yang memang sudah seharusnya hadir di antara kita semua. Panitia ternyata punya konsep yang berbeda tahun ini. Mayoritas sudah tidak menginginkan bintang-bintang berpijar sebagai gantinya mereka menyediakan langit ungu hasil kolaborasi warna hitam langit dengan lampu sorot panggung yang luar biasa terang bahkan melebihi terangnya bintang," sang pemandu perjalanan berusaha menenangkan para peserta tur "Kembali ke Alam" yang sudah membayar mahal untuk menyatu kembali dengan alam pegunungan. 

Kita membawa Jakarta ribuan meter di atas permukaan laut.

***

Dentuman peralatan pengeras suara merek ternama menggema ke seluruh penjuru hutan yang tadinya hanya bersuarakan gemericik air di antara bebatuan sungai, siulan burung, suara angin menerpa pepohonan, dan nyanyian binatang.

Kami merasa kurang hanya mambawa polusi udara,cahaya, mental, dan plastik.
Kami juga membawa polusi suara supaya ikut menyatu bersama alam yang sudah kami "beli" dengan harga mahal.
Kehidupan lengkap sudah.
Kami menyulap alam menjadi sama persis seperti di kota.
Kami lakukan karena kami mencintai alam sama seperti alam mencintai kami.

Bukankah tindakan kami sepatutnya diganjar dengan penghargaan? Kami membawa modernisasi, peradaban, dan gaya hidup baru ke alam yang masih terbelakang ini. Kami membuat alam menjadi tidak membosankan dan nyaman seperti di rumah sendiri.

Perubahan iklim itu hanya permainan korporasi besar. Kami hanya bisa memanipulasi kalian melalui dunia maya. Kami hanya mengemas dengan cara yang paling natural. Kami tak berdosa.


Silakan sampaikan pembelaan sampai kelu lidahmu karena kata-katamu sendiri. Sampaikan itu di depan binatang yang dijerat demi hiburan, tanaman yang rusak demi ruang, ladang yang berubah menjadi lumpur demi akses masuk, dan matinya esensi alam demi kenyamanan kalian semata.

Mari kita pulang.